Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indische Partij dan Gerakan Perempuan: Organisasi Pergerakan Nasional Periode Nasionalisme Politik

SAMSULNGARIFIN.COM - Pada postingan kali ini kita akan membahas tentang organisasi pergerakan nasional pada periode nasionalisme politik. Salah satunya adalah Indische Partij yang menjadi organisasi pergerakan nasional pertama yang jalur perjuangannya di bidang politik.

A. INDISCHE PARTIJ 

1. Latar Belakang Indische Partij 

Indische Partij berdiri di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912. Organisasi ini juga dimaksudkan sebagai pengganti organisasi Indische Bond, sebagai organisasi kaum Indo dan Eropa di Indonesia yang didirikan pada tahun 1898. Ketiga tokoh pendiri Indische Partij dikenal sebagai Tiga Serangkai, yaitu Douwes Dekker (Danudirja Setiabudhi). Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara). Indische Partij merupakan organisasi pergerakan nasional yang bersifat politik murni dengan semangat nasionalisme modern. 

Indische Partij adalah organisasi modern ketiga yang berdiri setelah Budi Utomo dan Sarekat Islam (Baca Tulisan saya sebelumnya). Organisasi ini merupakan organisasi pertama yang secara tegas menyatakan berpolitik. Dengan demikian Indische Partij adalah partai politik pertama di Indonesia. Indische Partich ingin menggantikan Indische Bond yang berdiri pada tahun 1899. Indische Bond adalah organisasi kaum Belanda peranakan (Indo) dengan pimpinan K. Zaalberg, seorang indo. Tujuan organisasi ini adalah untuk memperbaiki kaum Indo. Pada masa itu kaum Indo menaruh dendam yang tak ada hingganya kepada bangsa Belanda dan segala sesuatu yang bercorak Belanda. Hal ini disebabkan kaum Indo seolah-olah menjadi "golongan yang dilupakan" oleh bangsa Belanda. 

Keistimewaan Indische Partij adalah usianya yang pendek, tetapi anggaran dasarnya dijadikan program politik pertama di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh Dr. Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (alias Setyabudi) di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 dan merupakan organisasi campuran Indo dengan bumi putera. Douwes Dekker ingin melanjutkan Indische Bond, organisasi campuran Asia dan Eropa yang berdiri sejak tahun 1898. Indische Partij, sebagai organisasi politik semakin bertambah kuat setelah bekerja sama dengan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketiga tokoh ini kemudian dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”. 

Douwes Dekker melihat kejanggalan-kejanggalan dalam masyarakat kolonial, khususnya diskriminasi antara golongan keturunan Belanda “totok” dengan kaum Indo (campuran). Nasib para Indo tidak ditentukan oleh pemerintahan kolonial,namun terletak pada bentuk kerjasama dengan penduduk Indonesia lainnya. Bahkan menurut Douwes Dekker yang kemudian dikenal dengan nama Danudirdja Setyabudhi, ia menghendaki hilangnya golongan Indo dengan cara bercampur dengan bumiputera. Suwardi Suryaningrat melalui tulisan-tulisannya di dalam Het Tijdchrift dan De Express melakukan propaganda berisi penyadaran bagi golongan Indo dan penduduk bumiputra bahwa masa depan mereka terancam oleh bahaya yang sama, yaitu exploitasi kolonial. 

Guna persiapan pendirian Indische Partij, Douwes Dekker melakukan perjalanan propaganda di Pulau Jawa mulai tanggal 15 September hingga tanggal 3 Oktober 1912. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan dr. Cipto Mangunkusumo. Ketika berada di Bandung, ia mendapat dukungan dari Suwardi Suryaningrat dan Abdul Muis yang pada waktu itu telah menjadi pemimpin-pemimpin Sarekat Islam cabang Bandung. Di Yogyakarta, ia mendapat sambutan dari pengurus Boedi Oetomo. Redaktur-redaktur surat kabar Jawa Tengah di Semarang dan Tjahaya Timoer di Malang juga mendukung berdirinya Indische Partij. Bukti nyata dari banyaknya dukungan itu adalah didirikannya 30 cabang Indische Partij dengan anggota sebanyak 7.300 orang. Kebanyakan dari anggota itu adalah orang Indo-Belanda, sedangkan jumlah anggota dari golongan pribumi sebanyak 1500 orang. 

Permusyawaratan wakil-wakil Indische Partij daerah pada tanggal 25 Desember 1912 di bandung berhasil menyusun anggaran dasar Indische Partij. Program revolusioner tampak dalam pasal-pasal anggaran dasarnya tersebut, antara lain tujuan Indische Partij untuk membangun patriotisme semua Indiers terhadap tanah air atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air Hindia dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka. Sikap tegas Indische Partij juga tampak dalam semboyan-semboyan mereka yang berbunyi “Indie los van Holland” (Hindia bebas dari Belanda) dan “Indie voor Indier” (Indonesia untuk orang Indonesia). 

Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Indonesia dianggap sebagai national home bagi semua orang, baik penduduk bumiputra maupun keturunan Belanda, Cina, dan Arab, yang mengakui Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Paham ini pada waktu itu dikenal sebagai Indische Nationalisme, yang selanjutnya melalui Perhimpunan Indonesia dan PNI, diubah menjadi Indonesische Nationalisme atau Nasionalisme Indonesia. Hal itulah yang menyatakan bahwa Indische Partij sebagai partai politik pertama di Indonesia. 

Adapun program kerja Indische Partij adalah sebagai berikut : 
  1. Menyiapkan cita-cita nasional Hindia (Indonesia) 
  2. Memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan baik di bidang pemerintahan maupun kemasyarakatan 
  3. Memberantas usaha-usaha yang membangkitkan kebencian antara agama yang satu dengan yang lain. 
  4. Memperbesar pengaruh pro-Hindia di lapangan pemerintahan. 
  5. Berusaha untuk mendapatkan kesamaan hak bagi semua orang Hindia. 
  6. Dalam hal pengajaran, kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan ekonomi Hindia dan memperkuat mereka yang ekonominya lemah. 

2. Perkembangan dan Sikap Belanda terhadap Indische Partij 

Melihat adanya sikap radikal di dalam Indische Partij, pemerintah kolonial Belanda mengambil sikap tegas. Permohonan kepada gubernur jenderal untuk mendapatkan pengakuan sebagai badan hukum ditolak pada tanggal 4 Maret 1913 dengan alasan organisasi ini berdasarkan politik dan mengancam serta hendak merusak keamanan umum. Hal itu menjadi pelajaran bagi Indische Partij dan juga partai-partai lainnya bahwa kemerdekaan tidak akan diterima sebagai hadiah dari pemerintah kolonial. Kemerdekaan itu harus direbut dan diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sendiri. 

Pada tahun 1913, Pemerintah Belanda bermaksud merayakan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813-1913). Pegawai kolonial Belanda di berbagai tempat sibuk mengumpulkan uang untuk memeriahkan perayaan tersebut. Rakyat pun dipaksa turut serta membiayai pesta peringatan tersebut. Tindakan Belanda itu melukai hati bangsa Indonesia, terutama kaum nasionalis. 

Di kalangan penduduk bumiputra di Bandung dibentuk sebuah panitia peringatan yang disebut “Comité tot Herdenking can Nederlands Honderdjarige Vrijheid”atau disingkat Komite Bumiputra. Komite itu bertujuan membatalkan pembentukan “Dewan Jajahan” dan menuntut penghapusan “Peraturan Pemerintah no. 111” tentang larangan kehidupan berpolitik. Komite itu juga memprotes pengumpulan uang dari rakyat untuk membiayai pesta peringatan hari kemerdekaan Belanda itu. 

Salah seorang pemimpin komite tersebut, Suwardi Suryaningrat, menulis sebuah risalah dalam bahasa Belanda yang berjudul Als ik eens Nederlander was (Andai aku adalah seorang Belanda). Isi pokok dari tulisan itu merupakan suatu sindiran terhadap pemerintah kolonial Belanda yang mengajak penduduk pribumi ikut serta merayakan hari kemerdekaan Belanda padahal penduduk pribumi sendiri sedang dijajah oleh Belanda sendiri. 

Karena dianggap terlalu radikal, pada tahun 1913 Douwes Deker, Dr.Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat ditangkap dan dikenakan hukuman buang (internir) ke negeri Belanda. Kepergian ketiga tokoh tersebut berpengaruh cukup besar terhadap kegiatan Indische Partij sehingga semakin lama semakin menurun. Indische Partij kemudian berganti nama menjadi Insulinde. Pengaruh Sarekat Islam yang semakin menguat juga berpengaruh terhadap perkembangan partai ini sehingga Partai Insulinde menjadi semakin melemah. 

Kembalinya Douwes Dekker dari Belanda pada tahun 1918 tidak memberikan pengaruh yang berarti bagi Insulinde. Pada tahun 1919, partai ini berubah nama menjadi National Indische Partij (NIP). Dalam perkembangannya, NIP tidak pernah lagi mempunyai pengaruh kepada rakyat banyak. Masyarakat pribumi lebih banyak terserap mengikuti organisasi-organisasi lain, sedangkan orang Indo-Eropa yang masih cukup konservatif lebih cenderung bergabung dengan Indische Bond. Oleh karena itu, Indische Partij telah kehilangan basis massanya dan akhirnya dibubarkan, karena sudah tidak dapat menjalankan tugasnya dengan semestinya. 

B. GERAKAN PEREMPUAN 

Kondisi perempuan Indonesia pada zaman pertengahan abad ke-19 masih jauh tertinggal dibandingkan dengan kaum lelakinya. Sekolah-sekolah yang ada pada saat itu hanya membuka kesempatan bagi kaum lelaki, sedangkan para perempuan hanya mendapat pendidikan yang berkisar seputar kerumahtanggaan dan itu pun masih sangat terbatas. Keadaan ini sedikit demi sedikit mengalami perubahan ketika seorang putri bupati dari Jepara bernama R.A. Kartini, yang berkesempatan mengenyam pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda. 

Kartini menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam tulisan tentang kondisi perempuan pada masa tersebut. Pemikiran itu ditulisnya dalam bentuk korespondensi dengan sahabat-sahabatnya di Belanda seperti Stella Zeehandelar dan Profesor F.K. Anton. Oleh J.H Abendanon surat-surat Kartini ini dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang kemudian diberi judul Door Duirtenis Tot Lich yaitu Habis Gelap Terbitlah Terang. 

Kartini mencita-citakan sebuah masyarakat dimana ada keseteraan antara perempuan dan laki-laki, di mana perempuan dapat berpartisipasi dalam meningkatkan kemajuan bangsa bersama dengan laki-laki, di mana perempuan diberi kesempatan untuk bangkit dari ketertinggalannya. Menurutnya, sebagai perempuan ia akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, dan ibulah yang akan memberikan pendidikan pertama kepada anak-anaknya. 

Untuk itu sudah sepantasnya perempuan mendapatkan pendidikan yang memadai dan memperoleh pengetahuan yang lebih luas. Ia juga mengimpikan perubahan dalam masyarakat Indonesia serta mendorong penghapusan praktik-praktik dalam budaya Jawa yang dianggapnya mengekang hak-hak dan martabat perempuan, seperti tradisi pingitan di mana gadis yang akil baligh dilarang keluar dari rumah sampai menikah. Apa yang diperjuangkan Kartini kemudian dikenal dengan istilah emansipasi. 

Pemikiran Kartini banyak mendapat tanggapan positif dari kalangan perempuan. Hal itu terlihat dari banyaknya perkumpulan perempuan yang menyelenggarakan pendidikan khusus bagi perempuan. Mengikuti jejak Kartini, mereka mengejarkan hal-hal yang terkait dengan keterampilan dasar rumah tangga dan banyak pengetahuan lainnya. Perkumpulan yang ada saat itu antara lain Perkoempoelan Keoetamaan Istri yang diasuh oleh Dewi Sartika dan pendirian Sekolah Kartini di seluruh kota di Indonesia seperti di Jakarta, Bogor, Semarang, Madiun, Pekalongan, Indramayu, dan di Rembang, tempat kelahiran Kartini di Jepara. 

Dalam Kongres Perempuan Indonesia I, yang berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 25-28 Desember 1928, perkumpulan-perkumpulan perempuan ini sepakat mendirikan sebuah federasi yang dapat menjadi wadah perjuangan yang dapat memajukan perempuan Indonesia. Federasi tersebut berhasil dibentuk dan diberi nama Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang diketuai oleh Nyonya Sukanto. Pada tahun 1929, PPI diganti namanya menjadi Perhimpunan Istri Indonesia (PII). Selanjutnya, lahir pula organisasi perempuan lain yang bersifat nonkooperatif dengan pemerintah Belanda, yang dinamai perkumpulan “Istri Sedar”. 

Tujuan perkumpulan ini lebih tegas, yaitu meningkatkan kesadaran perempuan untuk tidak terlampau terikat dengan rumah tangga dan pendidikan saja, tetapi aktif juga dalam kegiatan politik. Pada tahun yang sama (1929) dibentuk pula Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (P4A). Perkumpulan ini bersama dengan PII berhasil menyelenggarakan Kongres Perempuan II di Jakarta 28-31 Desember 1929. Dalam kongres ini dibangun lagi satu kesepakatan bahwa semua perkumpulan perempuan berjuang untuk meningkatkan nasib dan derajat perempuan Indonesia dengan tidak mengaitkan diri dengan persoalan politik dan agama. Gerakan perempuan terus berlanjut hingga tahun 1941.

Demikian pembahasan tentang Organisasi Pergerakan Nasional Periode Nasionalisme Politik: Indische Partij dan Gerakan Perempuan. Terima kasih telah berkunjung dan jangan lupa membaca artikel lainnya di samsulngarifin.com.

Posting Komentar untuk "Indische Partij dan Gerakan Perempuan: Organisasi Pergerakan Nasional Periode Nasionalisme Politik"