Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dukungan Australia terhadap Kemerdekaan Indonesia, Black Armada hingga Komisi Tiga Negara

SAMSULNGARIFIN.COM - Pada postingan kali ini kita akan mempelajari materi Sejarah Peminatan Kelas XII tentang "Dukungan Australia terhadap Kemerdekaan Indonesia, Black Armada hingga Komisi Tiga Negara". Relasi antara Indonesia dan Australia memang naik turun sejak Republik Indonesia berdiri. Namun Australia memiliki peranan besar bagi bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan. Untuk lebih memahami, silakan simak pembahasan berikut ini.

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta langsung menarik perhatian dunia. Peristiwa tersebut menjadi bentuk pernyataan perlawanan untuk merdeka yang pertama kali dilakukan Indonesia sebagai sebuah negara jajahan. Australia, yang saat itu bersekutu dengan Belanda, terpaksa membuat kebijakan baru soal hubungannya dengan Indonesia.Terlebih sebelumnya, Australia hanya mengutamakan hubungan politik dan ekonomi dengan Inggris.

A. Black Armada; Bentuk Dukungan Pekerja Pelabuhan Australia

Sejarah mencatat Belanda telah berulang kali mencoba melakukan agresi militer untuk merebut kembali kekuasaannya di Indonesia.Beberapa tokoh nasionalis Indonesia, termasuk yang sedang berada di Australia, mencoba melobi Pemerintah Australia. Sementara di pihak Australia, untuk menunjukkan solidaritasnya, sekitar 4.000 pekerja kelautan bekerjasama dengan pelaut Indonesia melancarkan aksi pemogokan. 

Mereka, menolak melakukan bongkar muat kapal-kapal Belanda yang membawa persenjataan milik Belanda. Peristiwa pemogokan ini dikenal dengan “Black Armada”.Peristiwa ‘Black Armada’ ini sendiri berawal ketika sejumlah buruh pelabuhan asal Indonesia di pemukiman Woolloomooloo, Sydney mendengar kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia melalui warta berita pada siaran radio gelombang pendek. Keesokan harinya, salah seorang buruh di Kapal Belanda bernama Tukliwon yang berusia 20 tahun menyampaikan kabar kemerdekaan Indonesia dari Belanda itu pada rekan-rekannya sesama buruh pelabuhan di Australia yang berjanji akan memberikan dukungan.

Beberapa hari kemudian Tukliwon dan sejumlah rekannya sesama buruh di kapal feri milik Belanda diminta untuk kembali berlayar menuju Jawa, Indonesia, Namun keduanya menolak perintah tersebut demi mendukung kemerdekaan tanah air mereka. Aksi mereka ini memicu dukungan dari serikat pekerja pelabuhan Australia yang langsung memerintahkan anggotanya untuk mengembargo seluruh kapal yang membawa amunisi dan material lain yang akan digunakan untuk menyerang Pemerintah Indonesia.

Pada 24 September 1945, terjadilah boikot besar-besaran terhadap kapal-kapal milik Belanda di Pelabuhan Brisbane dan Sydney, sebelum akhirnya menyebar ke Melbourne dan Fremantle. Aksi boikot ini dengan cepat juga mendapat dukungan dari asosiasi pekerja pelabuhan yang lain mulai dari tukang masak, teknisi mesin, tukang cat kapal, tukang kayu, dan lain-lain.

Akibat aksi ini lebih dari 400 armada kapal milik Belanda yang berlabuh di Australia tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Indonesia, karena tidak ada pekerja pelabuhan yang membantu memasukan barang ke geladak, menyiapkan bahan bakar dan lain-lain. Dan secara signifikan melumpuhkan kekuatan militer Belanda. Aksi boikot oleh pekerja pelabuhan Australia ini semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada 28 September 1945. Pekerja pelabuhan di Sydney menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor kapal Belanda dan juga kantor diplomatik Belanda dan memasang spanduk besar berisi desakan agar Belanda meninggalkan Indonesia - 'hands Off Indonesia'.

Perintah ini dikuatkan dengan seruang langsung kepada anggota serikat pekerja pelabuhan Australia agar tidak memberikan tumpangan pada tentara dan pekerja Belanda, tidak mengangkat amunisi dan barang-barang lain seperti makanan dan lainnya ke kapal Belanda. Dan semua yang berkaitan dengan Belanda merupakan barang terlarang yang harus diembargo. Dan Sebaliknya, sebulan kemudian pada Oktober 1945, Australia memfasilitasi kembalinya lebih dari 1400 para tawanan perang Belanda asal Indonesia yang berada di Australia, ke tanah air dengan menggunakan kapal kargo Australia, Esperance Bay dari pelabuhan Sydney. Dukungan dan simpati Australia terhadap perjuangan Indonesia juga diwujudkan dengan terus menekan dan mengutuk agresi Belanda.

B. Dukungan Australia di Meja Diplomasi

Menurut George, dalam Siboro (1989) mencatat bahwa pada waktu Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaannya, pemerintah dan rakyat Australia memberikan rasa simpati dan dukungan terhadap Republik Indonesia yang baru lahir itu. Bagi Indonesia, sikap Australia itu dirasakan sebagai dukungan moral yang cukup berarti. Pihak Indonesia pun mengetahui bahwa dua kali agresi militer Belanda terhadap Indonesia, Australia selalu mencela Belanda.

Ketika Belanda melakukan Agresi Militer I, Australia-lah yang menasihatkan kepada pihak Indonesia untuk meminta bantuan langsung kepada Sekretaris Jenderal PBB atau dengan perantaraan India. Pada waktu Belanda melaksanakan Agresi Militer II, Australia meminta kepada Dewan Keamanan PBB agar serangan Belanda itu segera dihentikan (Siboro, 1989).

The action of the Netherlands cannot be condone. To ignore is to condone; to delay is to condone. The Council....should immediately measures it can within its authority to bring peace to Indonesia.... 
Tindakan dari Belanda tidak dapat dimaafkan. Mengabaikan berarti mengampuni; menunda bearti membiarkan. Dewan....harus secepatnya bertindak dengan kewenangannya untuk membawa perdamaian untuk Indonesia......(George, dalam Siboro, 1989).
Melihat sikap Australia seperti itu, kiranya sangat beralasan pilihan Indonesia terhadap Australia ketika PBB membentuk Komisi Jasa-jasa Baik atau lebih terkenal dengan nama Komisi Tiga Negara, untuk menengahi perselisihan antara Indonesia dengan Belanda. Agar dapat melaksanakan tugasnya lebih efektif, komisi ini kemudian ditingkatkan menjadi United Nations Commission on Indonesia (UNCI). UNCI terus mengawasi perundingan antara Indonesia dengan Belanda; mulai dari perundingan di atas kapal Renville sampai dengan Konferensi Meja Bundar (KMB).

Meskipun Australia bukan menjadi Anggota Dewan melainkan hanya menjadi Anggota Komisi Jasa Baik atau Komisi Tiga Negara bentukan Dewan Keamanan, Australia mengerahkan semua kemampuannya dengan memanfaatkan hak-hak yang ada untuk ikut berdebat dengan anggota Dewan (Adil, 1993). Akhirnya, AS pada tanggal 21 Agustus 1947 melalui Departemen Luar Negeri AS memberitahukan kepada Belanda bahwa AS akan mengusulkan kepada Dewan Keamanan PBB agar menawarkan jasa-jasa baiknya kepada pihak yang bersengketa.

Usul tersebut diterima oleh DK-PBB tanggal 25 Agustus 1947 yang selanjutnya menjadi keputusan PBB untuk membentuk suatu Committee of Good Offices (Komisi Jasa-jasa Baik) yang kemudian dikenal sebagai komisi Tiga Negara (KTN). KTN adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga anggota yaitu Australia (dipilih oleh Indonesia), Belgia (dipilih oleh Belanda) dan Amerika Serikat yang dipilih oleh Australia dan Belgia. Panitia ini dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan tanggal 25 Agustus 1947 sesudah pada tanggal 21 Juli tahun itu juga Belanda atas anjuran Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, menyerang R.I

Menghadapi sengketa Indonesia-Belanda yang semakin memuncak, maka Komisi Tiga Negara mengambil beberapa langkah penyelesaian dengan mengusulkan kepada forum PBB melalui DK PBB untuk membahas dan mengambil tindakan yang dianggap perlu atas segaka kejadian di Indonesia. Namun demikian, usaha KTN melalui PBB menemui banyak perbedaan persepsi tentang keadaan yang terjadi di Indonesia, sehingga usul tersebut tidak mendapat tanggapan. Berkali-kali KTN mengirimkan laporan ke DK PBB tetapi tidak pernah mendapat jawaban.

Setelah peristiwa Agresi Belanda II, forum PBB mulai gencar memperhatikan permasalahan yang ditangani KTN. Muncullah resolusi yang mengecam tindakan Belanda. Pada tanggal 28 Januari 1949, PBB mengeluarkan suatu resolusi yang menyerukan kepada kedua pihak untuk menghentikan tembak-menembak dan lain-lain yang berhubungan dengan sengketa tersebut. Akhirnya resolusi itu menetapkan perubahan KTN menjadi Komisi PBB untuk Indonesia, yaitu UNCI (United Nations Commission for Indonesia).

Ketika kemerdekaan Indonesia mencapai pengakuan internasional pada akhir tahun 1949—dalam bentuk RIS sesudah KMB—barang kali Australia berada pada posisi yang lebih tinggi dalam memberikan penghargaan dibandingkan dengan negara-negara lain. Bahkan Australia beranggapan, bahwa Australia-lah “sponsor” kemerdekaan dan keanggotaan Indonesia di PBB. Berkaitan dengan inilah barangkali, Partai Buruh Australia yang memerintah tahun 1941-1949 menganggap Indonesia hasil KMB itu sebagai “hasil ciptaannya sendiri”, sehingga ada yang menganggap bahwa menteri luar negeri Australia pada waktu itu, Evatt, sebagai “bidan kemerdekaan Indonesia” itu (George, dalam Siboro 1989).

Demikian pembahasan tentang "Dukungan Australia terhadap Kemerdekaan Indonesia, Black Armada hingga Komisi Tiga Negara". Semoga artikel kali ini bisa bermanfaat dan jangan lupa membaca artikel lainnya di samsulngarifin.com.

Sumber:
  • Adil, H. 1993. Hubungan Australia dengan Indonesia 1945-1962. Jakarta: Djambatan.
  • Cribb, Robert Bridson. 1990. Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949, Pergulatan Antara Otonomi dan Hegemoni. Jakarta: Grafiti.
  • Hassan Zein M (1970).Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri. Jakarta: Bulan Bintang
  • Hatta, Moh. 2011. Untuk Negeriku: Menuju Gerbang Kemerdekaan Sebuah Otobiografi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Mani, PRS. 1989. Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah. Jakarta: Grafiti
  • Roem, Moh. 1983. Bunga Rampai dari Sejarah Jilid III. Jakarta: Bulan Bintang.
  • Siboro. 1989. Sejarah Australia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
  • Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Posting Komentar untuk "Dukungan Australia terhadap Kemerdekaan Indonesia, Black Armada hingga Komisi Tiga Negara"