Respon Bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Dalam Bidang Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya, dan Pendidikan
Respon Bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Dalam Bidang Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya, dan Pendidikan
A. RESPON BANGSA INDONESIA TERHADAP KOLONIALISME DAN IMPERIALISME DALAM BIDANG POLITIK
Imperialisme dan kolonialisme yang pernah mendera Indonesia juga mengakibatkan
hal lain: aktivitas pemerintahan berpusat di jawa. Hal ini akhirnya terbawa
sampai sekarang. Meskipun saat ini kita sudah melakukan desentralisasi, tapi
tetap terasa bahwa wilayah Jawa seakan adalah pusat pemerintahan.
Tentu, saat pemerintah kolonial Belanda menguasai Indonesia, tidak sedikit
perlawanan yang menghadang. Salah satunya adalah perlawanan ciamik lewat dunia
politik. Kebanyakan rakyat bergerak melalui organisasi dalam maupun luar
negeri. Masa pergerakan nasional di Indonesia ditandai dengan berdirinya
organisasi-organisasi pergerakan. Masa pergerakan nasional (1908 – 1942),
dibagi dalam tiga tahap berikut.
- Masa penyusunan (1908 – 1920) berdiri organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij.
- Masa radikal/nonkooperasi (1920 – 1930), berdiri organisasi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Perhimpunan Indonesia (PI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
- Masa moderat/kooperasi (1930 – 1942), berdiri organisasi seperti Parindra, Partindo, dan Gapi. Di samping itu juga berdiri organisasi keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi perempuan.
Dalam uraian materi ini akan diambil 2 contoh organisasi pergerakan nasional
dari masing-masing periode, yaitu Budi Utomo dan Sarekat Islam mewakili masa
penyusunan, Perhimpunan Indonesia dan PNI mewakili masa radikal/non kooperasi,
dan Parindra serta GAPI mewakili masa moderat/Kooperatif. Sedangkan sebagai
informasi, organisasi-organisasi pergerakan nasional dapat dilihat secara
singkat pada tabel di bawah ini:
1. Organisasi Budi Utomo
Berdirinya Budi Utomo menjadi tanda kebangkitan nasional bangsa Indonesia
untuk mencapai kemerdekaannya sekaligus penanda perkembangan nasionalisme
Indonesia. Meskipun saat itu pendirian organisasi awalnya hanya dituukan bagi
golongan berpendidikan Jawa. Hingga saat ini tanggal berdirinya, 20 Mei,
diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Hal ini menjadikan sejarah Budi
Utomo dari awal hingga akhir sangat menarik untuk dipelajari.
Budi Utomo (Boedi Oetomo) ialah organisasi yang didirikan tanggal 20 Mei 1908
oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA. Mereka adalah Goenawan
Mangoenkoesoemo dan Soeraji. Wahidin Sudirohusodo merupakan penggagas Budi
Utomo dan namanya selalu dikaitkan dengan sejarah Budi Utomo ataupun sejarah
berdirinya Budi Utomo.
Budi Utomo dipelopori oleh para pemuda dari STOVIA, Sekolah Guru Bandung,
Sekolah Pamong Praja Magelang dan Magelang, Sekolah Peternakan dan Pertanian
Bogor, dan Sekolah Sore untuk Orang Dewasa di Surabaya. Para pelajar tersebut
terdiri dari Soeradji, Muhammad Saleh, Soewarno A, Goenawan Mangoenkoesoemo,
Suwarno B., R. Gumbreg, R. Angka, dan Soetomo. Baca juga pahlawan nasional
dari Jawa, pahlawan nasional dari Madura, pahlawan nasional dari Jawa Tengah,
dan biodata pahlawan kemerdekaan dari berbagai daerah di Indonesia.
Nama organisasi Budi Utomo diusulkan oleh Soeradji dan semboyan yang
dikumandangkan ialah Indie Vooruit (Hindia Maju) dan bukan Java Vooruit (Jawa
Maju). Budi Utomo terdiri atas kata budi yang berarti perangai atau tabiat dan
utomo yang berarti baik atau luhur. Jadi perkumpulan Budi Utomo dapat
dimaknasi sebagai perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan keluhuran
budi dan kebaikan perangai atau tabiat.
Tujuan Budi Utomo yakni memperoleh kemajuan yang harmonis bagi nusa dan bangsa
Jawa dan Madura. Pada awalnya Budi Utomo hanya mengendaki perbaikan sosial
yang meliputi Jawa dan Madura, sehingga kata kemerdekaan belum disebut.
Beberapa usaha ditempuh untuk mewujudkan tujuan tersebut yakni memajukan
pengajaran sesuai dengan yang dicita-citakan oleh dr. Wahidin, peternakan,
pertanian, perdagangan, teknik, industri, dan menghidupkan kembali kebudayaan.
2. Sarekat Islam (SI)
Kita kerap mendengar seruan untuk menjauhkan Islam dari gerakan politik.
“Jangan gunakan Islam sebagai alat politik, begitu kira-kira seruan mereka.
Mereka menginginkan Islam diisolasi di ruang “netral”. Sebetulnya ruang netral
itu tidak ada. Sebab, hampir semua ruang kehidupan manusia itu terkait dengan
politik. Mana bisa Islam terpisah dari persoalan kehidupan? Mana bisa Islam
tutup mata dengan penderitaan umatnya?
Dan memang, jika kita menengok ke masa silam, Islam tidak berjarak dengan
politik. Itu terjadi pada permulaan abad 20, bersamaan dengan kebangkitan
perlawan rakyat Indonesia menentang kolonialisme, muncul gerakan politik Islam
atau Islam Politik.
Di awal abad ke-20, ada organisasi sosial-politik yang sangat mencolok.
Namanya: Sarekat Islam. Ini organisasi massa terbesar di zamannya.
Tjokroaminoto, pimpinan SI yang kerap disebut “Raja Jawa” itu, mengklaim
jumlah anggotanya mencapai 2 juta orang.
Sumber resmi mengatakan, SI lahir dari perkumpulan kaum pribumi yang
mengamankan Laweyan, daerah hunian saudagar batik di Solo. Pendirinya bernama
Haji Samanhudi. Awalnya, organisasi itu bermuasal dari organisasi ronda
bernama “Rekso Roemekso”. Pendapat ini diperkuat ol eh Takashi Shiraishi dalam
bukunya, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa (1912-1926).
Namun, versi lain yang lebih akurat menyatakan, SI berasal dari organisasi
yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islamiyah (SDI). Pendirinya adalah
seorang bekas murid STOVIA yang terbakar api nasionalisme Tiongkok, Tirto Adhi
Soerjo, pada tahun 1909. Pendapat ini diusung oleh Pramoedya Ananata Toer
dalam tetralogi bagian ketiganya, Jejak Langkah. Namun, pada tahun 1913,
sebagai upaya menjegal perkembangan SDI, penguasa kolonial membuang Tirto ke
Ambon. Kepengurusan SI pun berpindah ke Haji Samanhudi dan kegiatannya
berpusat di Solo.
Pendapat Pram itu hampir sejalan dengan pendapat Bung Hatta saat menyampaikan
ceramah berjudul “Dari Budi Utomo menuju Sarekat Islam” di gedung Kebangkitan
Nasional tanggal 22 Mei 1974. Menurut Bung Hatta, pendiri SDI adalah Tirto di
Batavia tahun 1909. Tirto kemudian melakukan tur keliling jawa, termasuk Solo.
Dengan demikian, SDI Solo yang diketuai Haji Samanhudi adalah cabang SDI-nya
Tirto Adhisuryo.
SDI di bawah Haji Samanhudi terus berkembang. Sayang, Haji Samanhudi tidak
bisa mengendalikan organisasi yang terus berkembang. Ia juga tak kuasa melawan
tekanan penguasa kolonial. Akhirnya, pada tahun 1912, kepemimpinan SI
diserahkan kepada Tjokroaminoto, seorang teknisi di pabrik gula Rogojampi.
Pusat kegiatan SI pun dipindahkan ke Surabaya. Namanya pun berubah menjadi
Sarekat Islam (SI).
3. Perhimpunan Indonesia
Selain rakyat yang ada di daerah kita, jiwa nasionalisme juga timbul dari luar
negeri. Para mahasiswa yang sedang belajar di Belanda, pada tahun 1908,
membentuk Indische Vereeniging. Pada mulanya, mereka membentuk ini atas dasar
sosial. Namun, seiring berjalannya waktu, namanya berubah menjadi Indonesia
Vereeniging pada tahun 1922. Mereka pun semakin melebarkan sayapnya dan
memasuki dunia politik. Gagasan-gagasannya disalurkan lewat majalah Hindia
Putra. Sampai akhirnya, tiga tahun kemudian, mereka menjadi lebih radikal dan
mengganti namanya menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Mereka pun secara tegas
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
4. Partai Nasional Indonesia (PNI)
Berdirinya partai-partai dalam pergerakan nasional banyak bermula dari studie
club. Salah satunya yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai Nasional
Indonesia (PNI) yang lahir di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 tidak terlepas
dari keberadaan Algemeene Studie Club. Lahirnya PNI juga dilatarbelakangi oleh
kondisi sosio politik yang rumit. Pemberontakan PKI pada tahun 1926
membangkitkan semangat untuk membentuk kekuatan baru dalam menghadapi
pemerintah kolonial Belanda. Rapat pendirian partai ini dihadiri Ir. Soekarno,
Dr. Cipto Mangunkusumo, Soedjadi, Mr. Iskaq Tjokrodisuryo, Mr. Budiarto, dan
Mr. Soenarjo. Pada permulaan berdirinya, PNI berkembang benar-benar cepat
karena disupport oleh elemen-faktor berikut.
- Pergerakan yang ada lemah sehingga kurang bisa menggerakkan massa.
- PKI sebagai partai massa telah dilarang.
- Propagandanya menarik dan memiliki orator ulung yang bernama Ir. Soekarno (Bung Karno).
Untuk mengobarkan motivasi perjuangan nasional, Bung Karno mengeluarkan
Trilogi sebagai pegangan pengorbanan PNI. Trilogi hal yang demikian mencakup
kesadaran nasional, kemauan nasional, dan perbuatan nasional. Tujuan PNI yakni
mencapai Indonesia merdeka. Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI menerapkan
tiga asas adalah self help (berjuang dengan usaha sendiri) dan nonmendiancy,
sikapnya kepada pemerintah juga antipati dan nonkooperasi. Dasar perjuangannya
yaitu marhaenisme. Kongres Partai Nasional Indonesia yang pertama diadakan di
Surabaya, tanggal 27 – 30 Mei 1928.
Peranan PNI dalam pergerakan nasional Indonesia sangat besar. Menyadari
perlunya pernyataan semua potensi rakyat, PNI memelopori berdirinya
Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
PPPKI dicontoh oleh PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), Budi Utomo,
Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, Indonesische Studi Club, dan Algemeene
Studie Club.
Melihat PNI ini pesat menarik massa dan hal ini betul-betul mencemaskan
pemerintah kolonial Belanda. Pengawasan kepada aktivitas politik dilakukan
semakin ketat bahkan dengan tindakantindakan penggeledahan dan penangkapan.
Dengan berkembangnya desas desus bahwa PNI akan mengadakan pemberontakan,
karenanya empat tokoh PNI yaitu Ir. Soekarno, R. Gatot Mangkuprojo, Markun
Sumodiredjo, dan Supriadinata ditangkap dan dijatuhi sanksi oleh pengadilan
Bandung. Dalam proses peradilan itu, Ir. Soekarno dengan kejagoannya
melaksanakan advokasi yang diberikan judul “Indonesia Menggugat”.
Penangkapan terhadap para tokoh pemimpin PNI merupakan pukulan berat dan
menggoyahkan keberlangsungan partai. Dalam suatu kongres luar umum yang
diadakan di Jakarta pada tanggal 25 April 1931, diambil keputusan untuk
membubarkan PNI. Pembubaran ini memunculkan pro dan kontra. Mr. Sartono
kemudian mendirikan Partindo. Mereka yang tak setuju dengan pembubaran dan
usulan Sartono, lantas mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru)
yang didirikan oleh Drs. Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Baik Partindo
maupun PNI-Baru, masih menerapkan asas PNI yang lama yaitu self help dan
nonkooperasi. Lewat di antara keduanya terdapat perbedaan dalam hal strategi
perjuangan. PNI-Baru lebih mengutaman pendidikan politik dan sosial, sedangkan
Partindo mengutamakan aksi massa sebagai senjata yang tepat untuk mencapai
kemerdekaan
B. REPON BANGSA INDONESIA TERHADAP KOLONIALISME DALAM BIDANG EKONOMI
Bangsa Indonesia mulai mengenal industri pertambangan dengan dibukanya kilang
minyak bumi di Tarakan Kaltim oleh Belanda- Belanda membangun rel kereta api
untuk memperlancar arus perdagangan- Liberialisme ekonomi - Eksploitasi
ekonomi, monopoli dagang VOC menyebabkan mundurnya perdagangan nusantara di
panggung perdagangan internasional. Peranan syahbandar digantikan oleh para
pejabat Belanda- Kebijakan tanam paksa sampai sistem ekonomi liberal
menjadikan Indonesia sebagai penghasil bahan mentah.
Berbagai upaya Eksport dilakukan oleh bangsa Belanda, pedagang perantara
dipegang oleh orang timur asing terutama bangsa Cina dan bangsa Indonesia
hanya menjadi pengecer, sehingga tidak memiliki jiwa wiraswasta jenis tanaman
baru serta cara memeliharanya.- Dengan dilaksanakannya politik pintu terbuka,
maka pengusaha pribumi yang modalnya kecil kalah bersaing sehingga gulung
tikar.
Perkebunan di Jawa berkembang sedangkan di Sumatra kesulitan tenaga kerja
sehingga dilakukan program transmigrasi. Untuk mendukung program penanaman
modal Barat di Indonesia pemerintah Belanda membangun : Irigasi, waduk, jalan
raya, jalan kereta api dan pelabuhan. Untuk pembangunan tersebut digunakan
tenaga secara paksa dengan sistem rodi (kerja paksa)- Dengan memperkenalkan
sistem sewa tanah, terjadi pergeseran dari sistem ekonomi barang ke sistem
ekonomi uang yang juga menyebar di kalangan petani.
Informasi di atas adalah sederet perlakuan Bangsa Belanda kepada Indonesia
pada masa penjajahan, berbagai kerugian harus diderita Bangsa Indonesia
khususnya di bidang ekonomi, berbagai kebijakan dari Pemerintah Hindia-Belanda
maupun pada periode penguasa sebelumnya, yaitu VOC, tidak ada yang
menguntungkan bagi rakyat Indonesia kebanyakan, Adapun pihak yang mendapat
keuntungan, hanya segelintir elit bangsawan yang menjadi kepanjangan dan kaki
tangan pemerintah Belanda maupun penguasa VOC.
Hal tersebut memancing berbagai respon yang muncul dari Bangsa Indonesia,
khususnya dalam hal bidang ekonomi, perlawanan yang lahir dari penolakan
terhadap system monopoli yang dilakukan VOC maupun pemerintah Belanda.
Beberapa respon perlawanan terhadap system monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perlawanan Rakyat Maluku
Belanda telah sejak lama bercokol di Kawasan Maluku, sejak 1630, Belanda telah
menjadi kekuatan yang besar di Ambon, demi menegakkan hegemoni mereka di
Kawasan perdagangan Indonesia, maka Belanda langsung berupaya untuk menguasai
dan menduduki produsen rempah-rempah secara langsung, yaitu Kawasan Maluku,
pada saat itu kekuasaan di Maluku terdiri dari banyak para raja dan
gubernur-gubernur yang satu sama lain seringkali bertikai.
Sejak abad ke XVII, VOC selalu mengupayakan adanya perjanjian yang mengikat
antara VOC dan para penguasa di Maluku, tuntutan VOC adalah dia diberikan hak
untuk menguasai perdagangan rempah-rempah secara tunggal (monopoli) dan
sebagai imbalan bagi para penguasa di Maluku, adalah uang ganti rugi yang
besarannya sesuai kesepakatan, hal ini membuat VOC dan para penguasa di Maluku
menjadi sejahtera, sementara kalangan petani dan pemiliki kebun cengkeh, pala
dan bunga pala tidak mendapatkan keuntungan besar karena mereka harus menjual
kepada VOC yang telah menentukan harga jual seenaknya.
Respon Bangsa Indonesia terhadap praktek monopoli VOC muncul dari persekutuan
dari orang-orang Hitu (Ambon bagian Utara) dan pasukan Ternate yang berada di
Hoalmoal dengan dukungan dari kerajaan Bangsa Makassar (Kerajaan Gowa), dengan
dipimpin seorang Hitu bernama Kakiali, yang bergelar sebagai “Kapitein Hitoe”.
Kakiali adalah putera Kapitan Hitu Tepil yang ketiga setelah Raja Negeri
Mamala yang bernama Halaene (putera kedua Kapitan Hitu Tepil). Kapitan Kakiali
bergelar “Kapitan Hitu” dan berketurunan dari Perdana Jamilu (Nusapati) adalah
seorang dari para Perdana (pemimpin) Hitu di Jazirah Hitu Pulau Ambon. Kakiali
terkenal sebagai pahlawan dalam perang Hitu I tahun 1634 – 1643 melawan
penjajah Belanda (VOC). Politik monopoli perdagangan dan “hongi tochten” pada
zaman VOC sangat menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu (Tanah Hitu).
Berbagai upaya perlawanan terhadap monopoli VOC antara lain dilakukannya
dengan menyerang berbagai sekutu VOC yang menjadi kaki tangan VOC untuk
menegakkan monopoli sekaligus mendukung para pedagang -pemilik perkebunan
rempah untuk menjual hasil cengkeh, pala dan bunga pala kepada pihak-pihak
selain VOC.
Pada tahun 1634 peperangan mulai berkobar melawan Belanda dan rakyat Hitu
dibantu oleh Gimelaha Luhu dari Jasirah Hoamual di Seram Barat dan para
pejuang dari Hatuhaha di Pulau Haruku dan rakyat Iha dari Pulau Saparua.
Selain itu rakyat Hitu mendapat bantuan dari Makassar dan Ternate. Setelah
digempur dengan armada oleh pasukan Belanda yang dikirim dari Batavia
(Jakarta).
Para pejuang Hitu terpaksa menyingkir dan bertahan di gunung Wawani yang
dijadikan benteng pertahanan yang kuat dan dipimpin panglima Hitu Patiwani.
Pada tahun 1635 Kakiali dapat ditangkap melalui suatu tipu daya dalam
perundingan dengan Belanda. Ia dibuang ke Batavia. Tahun 1637, Kakiali
dipulangkan ke Hitu untuk menentramkan rakyat Hitu yang semakin bergolak.
Bersama dengan Kakiali datang pula Gubernur Jenderal van Diemen. Ia meminta
bantuan Sultan Hamzah dari Ternate (politik adu domba) untuk bersama-sama
melawan Hitu. Kemudian diangkatlah Gubernur Gerard Demmer. Tokoh Belanda yang
keras ini mulai mengadakan serangan besar-besaran ke benteng Wawani. Pada
tahun 1643 Belanda dapat menduduki Wawani setelah perang tersebut dikosongkan
pasukan Hitu dan Panglima Patiwani.
Kakiali kembali menyusun siasat baru melawan Belanda dengan rencana meminta
bantuan Makassar, namun dia dikhianati oleh teman-temannya sendiri. Kakiali
gugur bukan karena peluru VOC. Pada tanggal 16 Agustus 1643 seorang kenalannya
yang baik yaitu Fransisco de Toire (seorang Spanyol) setelah disogok uang oleh
Belanda, ia membunuh Kakiali pada saat sedang tidur. Kakiali ditikam dengan
sebilah keris. Pahlawan dari Wawani ini meninggal seketika. Namun perlawanan
rakyat Hitu belum berhenti. Peperangan diteruskan pada tahun 1643 – 1646
sebagai perang Hitu II yang dipimpin oleh Kapitan Tulukabessy dan Imam Rijali.
2. Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap Monopoli Belanda
Kehadiran orang-orang Belanda di Nusantara, termasuk di Banten pada awalnya
hanya untuk berdagang, yakni menawarkan beras untuk ditukarkan dengan
komoditas rempah-rempah yang laku di pasaran Eropa. Namun, dalam perdagangan
itu, Belanda hendak memonopoli. Di Banten pun terdapat sebuah kantor dagang
Belanda. Perkembangan kerajaan Banten tidak lepas dari dukungan
kerajaan-kerajaan di pantai utara Laut Jawa, seperti Demak dan Jepara. Bahkan
sejarah Banten dapat ditelusuri lewat kehadiran Falatehan yang kemudian
dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Hubungan antara Banten dan VOC yang semula baik berubah seiring dengan naiknya
Sultan Banten Abu’l Fath Abdulfattah yang lebih dikenal sebagai Sultan Ageng
Tirtayasa menjadi raja Banten pada tahun 1651. Sultan yang duduk di tahta saat
berusia 20 tahun ini tidak menyukai Belanda karena Belanda dalam pandangannya
hanya merupakan penghalang perdagangan Banten.
Sultan Ageng berusaha menghalang-halangi berbagai upaya monopoli perdagangan
oleh Belanda. Selain itu, orang-orang Banten juga diperintahkannya untuk
melancarkan serangan-serangan gerilya terhadap kedudukan Belanda di Jakarta,
baik melalui darat maupun laut.
Setelah merasa penguasa Banten mempersulit usaha monopoli Belanda di Banter,
akhirnya VOC memblokir pelabuhan Banten sehingga merugikan perdagangan
kerajaan Banten. Sultan terpaksa mendekati Belanda untuk mengadakan
perundingan. Perundingan itu berlangsung sangat ketat karena Belanda tetap
mempertahankan keinginan perdagangan monopoli di Maluku dan Malaka yang sulit
diterima oleh Banten. Akhirnya, disepakati bahwa Belanda tetap mengadakan
perdagangan dengan Maluku dan membayar ganti rugi kepada Banten.
Di sisi lain, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan
kerja sama dengan pedagang-pedagang Eropa bukan Belanda. Pedagang-pedagang
Inggris dan Denmark misalnya, bebas membeli lada di seluruh wilayah kerajaan
Banten. Dalam upaya mengimbangi monopoli perdagangan yang dilakukan Belanda,
Sultan Ageng berupaya untuk memberikan berbagai kesempatan berdagang bagi
seluruh bangsa Eropa yang datang ke Banten, seperti Inggris dan Perancis, hal
itu dikarenakan Sultan Ageng sangat tidak setuju terhadap praktek monopoli
yang dilakukan oleh Belanda.
Hubungan baik antara Inggris, Prancis dan Sultan Banten itu bagaimana pun
mulai mencemaskan pihak Belanda yang kuatir kalau aliansi antara Prancis dan
Sultan itu akan ditujukan ke Batavia. Di samping itu, persengketaan Belanda
dengan Banten juga tidak dapat dilepaskan dari berdirinya kota Batavia yang
dirintis oleh Jan Pieterszoon Coen, yang semula berpangkat Kepala Tata Buku
kongsi dagang itu di Banten, kemudian di Batavia.
Berkat taktik VOC, pada tahun 1676, Banten mulai goyah. Dengan politik adu
domba, Sultan Haji, putra Sultan Ageng, berhasil dipengaruhi sehingga memusuhi
ayahnya. Ia memang dikenal sebagai sosok yang sangat pro-Belanda. Akibatnya,
terjadi perselisihan antara anak dan ayah. Masyarakat pun terbagi dua.
Sebagian tetap setia kepada Sultan Ageng, sedangkan yang lain memihak Sultan
Haji.
Ketegangan dengan Belanda memuncak pada tahun 1680 dengan berakhirnya perang
Trunojoyo. Sultan Ageng yang makin bertambah usianya harus menghadapi Belanda
dan puteranya, Sultan Haji. Pada tanggal 27 Februari 1682 pecah perang antara
Sultan Ageng dengan Belanda dan Sultan Haji. Pasukan Sultan Ageng berhasil
merebut istana Sultan Haji di Surosowan. Belanda melipatgandakan kekuatan.
Dengan bantuan Belanda, Sultan Haji berhasil mempertahankan diri dengan
mengikuti semua syarat yang diajukan Belanda yaitu bahwa semua orang Eropa
harus meninggalkan Banten. Pada bulan Agustus 1682, Sultan Haji menandatangani
perjanjian yang mengakui kekuasaan Belanda. Lama kelamaan Sultan Ageng
terdesak dan kekuatannya mulai lemah, tetapi ia tidak mau menyerah kepada
Belanda. Pengikut-pengikutnya yang masih setia melanjutkan perjuangan di
daerah pedalaman.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia
meninggal dunia dalam penjara. Ia dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja
Banten di sebelah utara Masjid Agung Banten. Atas jasa-jasanya pada negara,
Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden
Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tgl 1 Agustus 1970.
C. RESPON BANGSA INDONESIA TERHADAP KOLONIALISME DAN IMPERIALISME DALAM BIDANG SOSIAL-BUDAYA
Kolonialisme dan Imperialisme Bangsa Belanda di Indonesia banyak berdampak
terhadap kehidupan social-budaya masyarakat Indonesia, berbagai dampak
tersebut antara lain adalah:
- Terciptanya kelas sosial dalam masyarakat, dengan bangsa Eropa dianggap sebagai yang tertinggi, disusul oleh Asia Timur Jauh, dan terakhir golongan Bumiputera, sebagai orang yang lebih dahulu tinggal di Indonesia, golongan Bumiputera mendapatkan perlakuan diskriminatif, keistimewaan diberikan pada golongan Eropa dan Timur Asing yang seringkali diprioritaskan dan diutamakan dalam pemenuhan Haknya, hingga kaum Bumiputera merasa didiskriminasikan di tanahnya sendiri.
- Terjadinya perubahan berbagai ritual dan tradisi kuno di istana-istana dan keraton maupun di masyarakat. Tradisi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, seperti upacara dan tata cara yang berlaku dalam lingkungan istana menjadi sangat sederhana, bahkan cenderung dihilangkan. Tradisi tersebut secara perlahan-lahan digantikan oleh tradisi pemerintah belanda.
- Mundurnya aktivitas perdagangan laut. Daerah Indonesia pada saat abad ke XVII masih banyak bergantung pada aktivitas di tepi laut sehingga perubahan aktivitas perdagangan berdampak pada kehidupan di pedalaman. Kemunduran perdagangan di laut secara tak langsung menimbulkan budaya feodalisme di pedalaman. Di bawah prinsip feodalisme, rakyat bumiputera dipaksa untuk tunduk/patuh pada tuan tanah Barat/Timur Asing.
- Masuknya agama Katolik dan Protestan, bersamaan dengan datangnya Bangsa Belanda dan sebelumnya Portugis dan Spanyol, diperkenalkanlah agama Katolik dan Protestan di Indonesia.
Berbagai dampak tersebut pada akhirnya menimbulkan berbagai respon dari Bangsa
Indonesia di bidang sosial-Budaya terhadap praktek kolonialisme dan
Imperialisme Belanda di Indonesia, respon tersebut antara lain dalam bentuk:
1. Respon dalam bentuk karya sastra
Pada masa kolonialisme dan imperialism Belanda, muncul berbagai respon dalam
bentuk karya sastra yang menjadi ciri khas pada masa pra-kemerdekaan, umumnya
karya sastra ini turut membentuk sebuah identitas nasional ke-Indonesiaan
dengan ciri khas penulisan menggunakan Bahasa melayu, yang kelak akan
digunakan sebagai Bahasa Nasional di Indonesia, yaitu Bahasa Indonesia.
Pada periode awal abad XX muncul para sastrawan, yang terkenal antara lain
adalah Mohammad Yamin (1903-1964) yang mulai menulis sajak-sajak modern pada
tahun 1920-1922. Lalu ada pula Marah Roesli (lahir 1898) yang menulis sebuah
novel legendaris berjudul Siti Nurbaya, yang menceritakan kisah cinta tragis
sebagai akibat adanya benturan antara nilai-nilai modern dan tradisional,
selain itu ada pula Sanusi Pane (1905-1968) yang juga menulis puisi modern dan
merupakan sastrawan berpengaruh khususnya dibidang pengembangan kebudayaan
yang berakar dari kebudayaan pra-islam.
Berbagai karya sastra ini, meskipun banyak dicetak menggunakan percetakan
milik pemerintah Hindia-Belanda, yaitu Balai Pustaka ternyata turut
mempertahankan identitas dan kelestarian budaya-budaya daerah yang
didokumentasikan dari berbagai karya tulis yang dibuat orang Indonesia,
sekaligus menyebarkan berbagai identitas kebangsaan Indonesia melalui suatu
Bahasa nasional, yaitu Bahasa Indonesia. Karya-karya satra ini turut pula
menyumbang gagasan tentang cara hidup modern di abad 20, Kesehatan pribadi,
hingga kepada emansipasi wanita.
Aktifitas-aktifitas dari kegiatan budaya dan politik ini pada akhirnya akan
membawa ke arah persatuan Indonesia, yang tercermin dalam adanya kongres
Pemuda II yang sama-sama mencetuskan sebuah sumpah pemuda yang diinisiasi oleh
para pemuda dari berbagai suku dan etnis, dalam memperingati kongres yang
diselenggarakan tahun 1928 ini, Moh.Yamin menulis sekumpulan sajak yang
diterbitkan pada tahun 1929 dengan judul Indonesia Tumpah Darahku. Sajak
tersebut menggambarkan keyakinan di kalangan kaum terpelajar Indonesia bahwa
pertama-tama mereka adalah Orang Indonesia, dan baru setelah itu mereka adalah
orang Minangkabau, Batak, Jawa, Kristen, Islam dan lain-lain.
Selain Moh. Yamin adapula Mas Marco Kartodirdjo yang menulis buku yang
berjudul “ Student Hidjo (1919) didalamnya menceritakan kehidupan Hidjo
seorang pemuda dari kalangan priyai rendahan yang berhasil meraih prestasi di
sekolahnya dan bisa melanjutkan belajar ke negeri Belanda, Buku lainnya yaitu
yang berjudul Rasa Merdika (1924), menceritakan seorang pemuda yang selalu
berkonflik dengan ayahnya yang di anggapnya sebagai alat pemerintahan Belanda.
2. Respon dalam bentuk karya seni musik
Respon Bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan Imperialisme Belanda di
Indonesia di bidang sosial budaya antara lain adalah berkembangnya seni musik
memiliki nuansa dan menggelorakan perjuangan. Salah satu tokoh seni music
tersebut adalah seorang kelahiran Jakarta, yang bernama Ismail Marzuki.
Ismail Marzuki merupakan musisi pemberontak di zamannya. Ketika pemerintah
kolonial Belanda memberlakukan pembatasan hak untuk berserikat dan berkumpul
(vergader verbod) terhadap organisasi-organisasi kebangsaan, dan rakyat
dilarang keras mendengarkan lagu-lagu mars partai politik dan kebangsaan, jiwa
Ismail memberontak. Cara-cara pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial tersebut bertujuan untuk menjaga keamanan dan ketertiban agar
kekuasaanya di Indonesia langgeng terjaga.
Sementara sewaktu pemerintah melakukan berbagai upaya menjaga kedaulatannya
itu, Belanda sedang mengalami situasi yang kacau balau. Menurut Firdaus Burhan
dalam bukunya yang berjudul “Ismail Marzuki: Hasil Karya dan Pengabdiannya”
(1983: 22), Ismail telah menciptakan lagu yang mampu membakar semangat bangsa
dalam 10 judul lagu. Diantaranya lagu berjudul Banyu Biru, Bintangku, Ani-ani
Potong Padi, Kroncong Sukapuri dan Arjuna Rimba Malam Kemilau, Siapakah
Namanya, Sederhana, Kroncong.
Lagu-lagu tersebut mampu membawa pengaruh pada perjuangan bangsa, karena
menceritakan keadaan Indonesia di bawah jajahan Belanda. Begitulah profil
Ismail Marzuki yang tercatat dalam sejarah berjuang demi kemerdekaan melalui
melodi.
D. RESPON BANGSA INDONESIA TERHADAP KOLONIALISME DAN IMPERIALISME DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Sistem pendidikan yang telah dijalankan oleh pemerintah kolonial pihak Belanda
ialah menggunakan metode Barat dengan cara menyediakan tempat pendukung berupa
sekolah, metode kurikulum serta guru pengajar dengan jadwal yang teratur. Pada
awal mulanya sekolah yang telah didirikan ialah sebuah sekolah gubernemen di
tiap-tiap kabupaten ataupun kota besar. Sekolah tersebut didirikan di tahun
1840-an serta diperuntukkan untuk masyarakat pribumi dari golongan masyarakat
menengah atau anak pegawai pemerintah.
Guna menyiapkan tenaga guru pengajar lalu didirikanlah sekolah guru atau
disebut kweekschool di kota Sala pada tahun 1852, di kota Bandung dan kota
Probolinggo pada tahun 1866. Pelajar lulusan sekolah tersebut akan ditempatkan
di beberapa sekolah-sekolah gubernemen. Bahasa sehari -hari yang digunakan di
dalam aktivitas persekolahan tersebut ialah bahasa Jawa, Madura, Sunda atau
bahasa Melayu, tergantung dimana lokasi sekolah tersebut.
Karena rasa ketidakpuasaan pada pendidikan Belanda yang cenderung mahal dan
hanya orang tertentu. Maka banyak orang biasa yang tidak bisa mendapatkan
pendidikan. Akhirnya muncul berbagai respon terhadap kolonialisme dan
imperialism Belanda pada bidang Pendidikan sebagai bentuk sekolah tandingan
terhadap sekolah pemerintah, antara lain adalah munculnya sekolah-sekolah
milik orang Indonesia asli, antara lain adalah :
1. Taman Siswa
Setelah pulang dari pengasingan bersama dengan rekan-rekannya dalam Indische
Partij (IP) Ki Hajar Dewantara, yang bernama asli Suwardi Suryaningrat lantas
mendirikan sebuah perguruan yang bercorak Nasional yang di beri nama Onderwijs
Instituut Taman Siswa ( Perguruan Taman Siswa).
Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur
akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya
untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya.
Sejak berdirinya pada tahun 1922 hingga kini Taman siswa sangat dikenal
sebagai lembaga pendidikan yang menasional. Meski beberapa dekade belakangan
ini nama Tamansiswa agak surut, termasuk dalam dunia pendidikan yang menjadi
andalannya itu sendiri. Hal tersebut tidak semata-mata karena semakin
banyaknya bermunculan lembaga-lembaga pendidikan yang kompetif, meski
cenderung menjadi pasar, namun juga karena tampaknya Tamansiswa sendiri
kehabisan energi, terutama energi pembaruan, di bidang pendidikan.
Setelah didirikannya Taman Siswa pada tanggal 3 juli 1922, perjalanan Taman
Siswa ini tidak berhenti disitu saja melainkan Taman Siswa ini terus
berkembang dimana Taman Siswa ini berperan dalam menumbuhkan rasa Nasionalisme
bangsa Indonesia. Seperti kita ketahui sejak awal Taman Siswa dibentuk
memberikan pendidikan yang berdasarkan pada kepribadian bangsa.
Meskipun menggunakan sistem pendidikan modern Belanda akan tetapi Taman Siswa
tidak mengambil kepribadian Belanda. Dengan demikian, anak didiknya tidak
kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang sangat berbeda dengan
Belanda. Peran Guru Taman Siswa berasal dari bangsa Indonesia dan umumnya
berasal dari para aktivis pergerakan nasional yang bercita-cita memerdekakan
bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.
Meskipun mendapat beberapa kali tawaran dari Pemerintah Belanda untuk
mendapatkan bantuan dana dari pemerintah, Ki Hajar Dewantara menolaknya,
dengan dalih tetap menginginkan adanya independensi Pendidikan di Taman Siswa
tanpa mengikuti berbagai aturan dari Pemerintah Hindia Belanda. Meskipun ada
kebijakan dari pemerintah Belanda untuk ditutup namun karena ada protes keras
dari Ki Hajar Dewantara maka sekolah tersebut tidak jadi ditutup.
Berbagai warisan dari Taman Siswa yang berasal dari Ki Hajar Dewantara antara
lain adalah Semboyan pendidikan yang sampai kini tetap dipegang oleh Indonesia
yaitu
- Ing ngarso sung tuladha artinya dapat memberi teladan
- Ing Madya Mangun Karsa artinya menjadi penyemangat
- Tut wuri Handayani artinya memberi dorongan
Selain itu, hari lahirnya Ki Hajar Dewantara pada tanggal 2 Mei pun tiap tahun
diperingati sebagai hari Pendidikan nasional di Indonesia.
2. INS Kayu Tanam
Moh. Syafei seorang yang berdarah Minang dilahirkan di Kalimantan Barat
tepatnya di daerah Natan tahun 1895. Anak dari Mara Sutan dengan Indung
Khadijah. Ia menamatkan di Sekolah Rakyat tahun 1908, masuk sekolah Raja
(Sekolah Guru) lulus pada tahun 1914. Kemudian beliau hijrah ke Jakarta dan
menjadi guru pada sekolah Kartini selama 6 tahun. Disela-sela kesibukannya
menyempatkan diri untuk belajar menggambar lulus tahun 1916, bahkan aktif
dalam Budi Utomo serta Insulide serta membantu Wanita Putri Merdeka.
Moh. Syafei pada tanggal 31 Mei 1922 berangkat ke negeri Belanda menempuh
pendidikan atas biaya sendiri. Belajar selama 3 tahun dengan memperdalam ilmu
musik, menggambar, pekerjaan tangan, sandiwara termasuk memperdalam pendidikan
dan keguruan. Pada tahun 1925 kembali ke Indonesia untuk mengabdikan ilmu
pengetahuannya.
Berikut ini adalah Perkembangan Pendidikan INS Kayu Tanam, antara lain :
1) Masa Awal RP INS Kayutanam
Kayutanam adalah nama desa kecil di Sumatera Barat sedangkan INS sebuah
lembaga pendidikan yang merupakan akronim dari Indonesche Nederlandsche
School. Cikal bakal sekolah ini adalah milik jawatan kereta api yang dipimpin
oleh ayahnya. Tanggal 31 oktober 1926 diserahkan kepada M. Syafei untuk
mengelolanya dan kemudian tersohor dengan nama Ruang Pendidikan Indonesche
Nederlandsche School (RP INS) Kayutanam.
Pada awal didirikan, Ruang Pendidik INS mempunyai asas-asas sebagai berikut :
- Berpikir logis dan rasional
- Keaktifan atau kegiatan
- Pendidikan masyarakat
- Memperhatikan pembawaan anak
- Menentang intelektualisme
2) Zaman Penjajahan Belanda
RP INS kayutanam tahun 1926 memiliki 75 orang siswa terdiri atas dua kelas (1A
dan 1B) dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Gedung sekolah RP INS
Kayutanam dibangun sendiri oleh siswa tahun 1927 terbuat dari bambu beratap
rumbia. Karena membutuhkan lahan luas maka pada tahun 1937 dipindahkan ke
Pelabihan, 2 kilometer dari Kayutanam dan selesai pada tahun 1939. Kemajuan
terus tercapai dengan adanya :
- Terbangunnya asrama dengan kapasitas 300 orang dan 3 perumahan guru
- Murid 600 orang
- Asrama dilengkapi dengan satu ruang makan dan dapur
- 1 pesanggerahan
3) Zaman Penjajahan Jepang
Pecahnya PD II 1941 INS diduduki secara paksa oleh Belanda dan proses
pembelajaran terhenti. Setelah Jepang menang tahun 1942 RP INS berubah
terjemahannya menjadi Indonesche Nippon School. Di zaman ini pembelajaran
merosot tajam yang disebabkan oleh sulitnya memperoleh alat-alat pelajaran dan
digunakan untuk bekerja serta berlatih demi kepentingan perang Jepang.
4) Zaman Kemerdekaan
Nama INS tetap dipakai akan tetapi sebagai singkatan dari Indonesia Nasional
School, pada masa kemerdekaaan Kayu tanam mengalami perkembangan ini dilihat
dari :
- Atas ijin pemerintah Kayutanam mendirikan ruang pendidikan pengajaran, dan kebudayaan di bekas kantor penyelidikan di Padang Panjang. Perpustakaan ini pada masa itu memiliki koleksi buku sebanyak 23.000 buku.
- Pada tahun 1952 mendirikan percetakan dan penerbitan sendiri yang bernama Sridharma, dan menerbitkan majalah bulanan Sendi, serta mengarang buku Kunci 18 untuk memberantas buta huruf.
- Pada tanggal 31 Oktober 1952 INS dijadikan SGBN Istimewa, keistimewaan ini terletak pada: 1) Moh Syafei tidak 100% terikat oleh peraturan-peraturan pemerintah; 2) Murid-murid INS berasal dari seluruh Indonesia.
- Pelajaran yang diutamakan adalah ekspresi, seperti menggambar, musik, tari-tarian, pekerjaan tangan.
Posting Komentar untuk "Respon Bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Dalam Bidang Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya, dan Pendidikan"